Kamis, 24 Agustus 2017

Selasa, 22 Agustus 2017

Kamis, 13 Oktober 2016

Laporan Praktikum Limnologi - PENGUKURAN DEBIT AIR

PENGUKURAN DEBIT AIR

ANDITA PALUPI
15/379697/PN/14151
MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN

Abstrak

Praktikum ini bertujuan mengetahui cara pengukuran debit air dengan berbagai macam metode; mengetahui cara menghitung debit air; dan membandingkan metode yang lebih efektif dalam pengukuran debit. Praktikum dilakukan di selokan kolam Perikanan Universitas Gadjah Mada pada tanggal 9 September 2016. Pada selokan besar diukur debit airnya dengan menggunakan Embody’s Float Method diperoleh hasil 8.847 x 10-3 m3/s dan pada selokan kecil diperoleh hasil 12.93 x 10-3 m3/s. Pada saat diukur dengan Rectangular Weir Method diperoleh hasil debit selokan besar sebesar 1.904 x 10-3 m3/s dan selokan kecil sebesar 21.16 x 10-3. Pada saat diukur dengan 90° Triangular Notch Weir Method diperoleh hasil debit selokan besar sebesar 1.027 x 10-3 m3/s dan selokan kecil sebesar 0.396 x 10-3 m3/s. Dari percobaan yang telah dilakukan didapat kesimpulan bahwa metode yang efektif untuk selokan besar yaitu Embody’s Float Method dan untuk selokan kecil yaitu 90° Triangular Notch Weir Method.

Kata kunci: arus, debit, kolam, metode, selokan

Pengantar

Air adalah media tempat semua organisme air yang merupakan elemen dasar penyusun dari tumbuhan dan binatang. Air juga merupakan medium tempat terjadinya reaksi kimia baik didalam maupun diluar organism hidup. Penentuan debiat air sungai diperlukan unuk mengetahui besarnya air yang mengalir dari sungai ke laut. Dalam penentuan debit air sungai perlu diketahui luas penampangnya yaitu dengan mengukur kedalaman dan lebar masing-masing titik pengukuran. Arus dan debit merupakan suatu gerakan air yyang mengakibatkan perpindahan horizontal massa air. Arus dapat menyebabakan terjadinya kerusakan fisik pada sungai atau selokan seperti pengikisan daratan, perpindahan sedimen dan lain sebagainya (Hadiwigeno,1990).

Debit air adalah laju aliran air yang melewati suatu penampang melintang sungai/aliran air per satuan waktu. Di dalam satuan SI, besar debit dinyatakan dalam satuan m3/detik. Pergerakan air sangat ditentukan oleh intensitas hujan dan lamanya hujan, topografi bentuk dan kemiringan lereng, karakteristik geologi terutama jenis dan struktur tanah, keadaan vegetasi, serta faktor manusia. Pengukuran debit air dapat dilakukan dengan mengukur volume aliran sungai, menentukan luas penampang sungai, menggunakan bahan kimia (pewarna) yang dialirkan dalam aliran sungai, atau dengan membuat bangunan pengukur debit seperti weir (aliran air lambat) atau flume (aliran air cepat). Arus sungai memiliki kecepatan yang berbeda-beda, baik dari hulu ke hilir maupun dari waktu ke waktu. Debit air dan arus sungai saling mempengaruhi pada suatu ekosistem sungai. Pemilihan lokasi pengukuran debit air sebaiknya dilakukan di bagian aliran perairan yang lurus, tidak ada tumbuhan, jauh dari percabangan sungai (Asdak, 1995).

Pengukuran debit air sangat memiliki peranan yang penting dalam dunia perikanan atau pemanfaatan perairan. Melalui pengukuran debit air maka dapat diketahui kemampuan perairan untuk menyuplai air untuk kebutuhan mahkluk hidup seperti manusia, maupun hewan dan tumbuhan. Didalam dunia perikanan memiliki peran yang setrategis dimana air adalah komponen utama dalam budidaya perikanan.

Metode

Praktikum ini dilaksanakan di selokan besar dan selokan kecil kolam perikanan Universitas Gadjah Mada pada hari Jum’at tanggal 9 September 2016 pada pukul 15.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB. Pengukuran debit air menggunakan Embody’s Float Method, Rectangular Weir Method, dan 90° Notch Weir Method.

Pada Embody’s Float Method, alat yang digunakan adalah bola pingpong, meteran, penggaris, dan stopwatch. Bola pingpong dihanyutkan dari titik awal hingga titik akhir pada jarak yang telah ditentukan. Waktu diukur dengan stopwatch, lalu dicatat dan dilakukan tiga kali pengulangan. Kemudian mengukur lebar selokan (W), kedalaman (D), dan ditentukan konstanta dari materi dasar saluran (0,8 = berbatu, 0,9 = berpasir). Debit air dihitung dengan menggunakan rumus;


dengan R merupakan debit air (m3/s); W merupakan rata-rata lebar muka air (m); D merupakan rata-rata kedalaman (m); A merupakan konstanta; L merupakan jarak yang ditempuh bola pingpong (m); dan T merupakan waktu yang dibutuhkan bolah pingpong menempuh jarak yang ditentukan.

Metode kedua yang digunakan adalah Rectangular Weir Method. Cara kerja dengan metode ini adalah dengan membendung air dengan bendungan khusus yang memiliki celah persegi panjang sehingga air akan melewati celah tersebut. Selanjutnya, ditentukan posisi bendungan/weir yang akan digunakan. Kemudian, air diukur tingginya dimulai dari awal celah persegi panjang (H). Langkah akhir adalah mengukur lebar celah persegi panjang (L). Setelah semua data telah dikumpulkan, lalu debit air dapat dihitung dengan rumus Q = 3,33 x H3/2 (L - 0,2H), dengan Q merupakan debit air (m3/s); H merupakan tinggi weir (m); dan L merupakan lebar weir.

Setelah menggunakan kedua metode sebelumnya, debit air kembali dihitung dengan menggunanakan 90º Triangular Notch Weir Method. Bentuk bendungan yang digunakan pada metode ini mirip dengan menggunakan Rectangular Weir Method, akan tetapi celahnya berbentuk segitiga dengan sudut 90º. Mengukur debit air dengan metode ini hanya perlu membendung aliran air dengan bendungan khusus 90º Triangular Notch Weir dan menghitung ketinggian air (H) selanjutnya dihitung dengan rumus Q = 2,54 x  H5/2, dengan Q merupakan debit air (m3/s) dan H merupakan tinggi weir (m).

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Tabel 1. Hasil Pengamatan Pengukuran Debit Air Selokan Besar dan Selokan Kecil Kolam Perikanan UGM
Saluran
Embody's Float (m3/s)
Rectangular (m3/s)
Triangular (m3/s)
I (besar)
7.602 x 10-3
1.52 x 10-3
1.41 x 10-3
11.8 x 10-3
2.134 x 10-3
1.09 x 10-3
7.14 x 10-3
2.05 x 10-3
0.58 x 10-3
Rerata
8.847 x 10-3 ± 0.00256
1.904 x 10-3 ± 0.01129
1.027 x 10-3 ± 0.002183
II (kecil)
13.3 x 10-3
7.125 x 10-3
0.157 x 10-3
12.9 x 10-3
22.9 x 10-3
1.02 x 10-3
12.59 x 10-3
33.45 x 10-3
0.0251 x 10-3
Rerata
12.93 x 10-3 ± 0.000356
21.16 x 10-3 ± 0.0132
0.396 x 10-3 ± 0.00054

Pembahasan

Menurut Asdak (1995), debit aliran adalah laju aliran air yang melewati suatu penampang melintang sungai persatuam waktu. Dalam satuan meter per detik atau liter per detik. Debit air juga dapat diartikan sebagai volume air yang mengalir kesuatu titik tiap satuan luasnya. Praktikum pengukuran debit air dilakukan untuk mengetahui cara mengukur debit air dengan beberapa metode dan mengetahui cara perhitungan debit air. Debit air dipengaruhi oleh bentuk saluran air, kondisi dasar perairan, ukuran saluran air, dan kemiringan bidang lahan. Semakin besar ukuran batu dasar dan semakin banyak curah hujan, semakin cepat pengukuran air, semakin kuat, dan kecepatan arus cepat, sehingga dapat mempengaruhi debit air (Cholik, 1991).

Praktikum debit air dilakukan dengan 3 metode yaitu Embody’s Float Method, Rectangular Weir Method, dan 90o Triangular Notch Weir Method, hasil yang diperoleh pada Saluran I (besar) menggunakan Embody’s  Float Method adalah 8.847 x 10-3 m3/s dan pada Saluran II (kecil) hasil yang diperoleh adalah 12.93 x 10-3 m3/s. Hasil didapat dari tiga kali ulangan pada beberapa faktor yang mempengaruhi besar perhitungan debit air. Beberapa faktor tersebut seperti kedalaman (D). Dari ketiga ulangan pada setiap saluran terjadi perbedaan kedalaman yang dapat disebabkan karena perbedaan ketinggian dasar perairan saluran pada bagian tepi serta tengah pada saluran, sehingga pada saat diukur mengakibatkan terjadinya perbedaan hasil pengukurannya. Kemudian faktor waktu tempuh bola pingpong juga terjadi perbedaaan nilai T pada ketiga ulangan pada setiap laporan disebabkan karena perbedaan lama tempuh pelampung (bola ping pong) yang dikarenakan faktor aliran angin serta faktor-faktor penghambat laju aliran airnya seperti arah angin atau keberadaan limbah pada saluran tersebut, sehingga dilakukan tiga kali ulangan pada metode ini adalah agar data yang diperoleh lebih akurat. Konstanta yang digunakan bernilai 0,8 karena dasar salurannya adalah berbatu/berkerikil.

Metode yang digunakan selanjutnya adalah Rectangular Weir Method, dan 90o Triangular Notch Weir Method. Hasil yang diperoleh pada Saluran I (besar) dengan Rectangular Weir Method adalah 1.904 x 10-3 m3/s dan dengan 90o Triangular Notch Weir Method adalah 1.027 x 10-3 m3/s , sedangkan pada Saluran II (kecil) diperoleh hasil berturut-turut dengan Rectangular Weir Method dan 90o Triangular Notch Weir Method adalah 21.16 x 10-3 m3/s dan 0.396 x 10-3 m3/s . Hasil tersebut diperoleh dari tiga kali pengulangan pada pengukuran ketinggian weir (H) yang berbeda-beda pula. Terjadinya perbedaan nilai H pada masing-masing ulangan tiap saluran disebabkan karena perbedaan ketinggian dasar perairan pada bagian tepi saluran serta bagian tengah pada saluran sehingga pada pada saat diukur mengakibatkan terjadinya perbedaan antara hasil pengukuran debit air dengan menggunakan ketiga metode tersebut.

Apabila dibandingkan dari ketiga hasil pengukuran debit air dengan menggunakan metode tersebut, Embody’s Float Method memiliki cara pengukuran paling sederhana karena pada saat praktikum ada dua saluran yang berbeda, yang pertama pada Saluran I (besar) berupa sungai/kali dan Saluran II (kecil) berupa selokan, sehingga jika menerapkan Rectangular Weir Method dan 90o Triangular Notch Weir Method pada saluran sungai yang besar akan diperoleh hasil yang tidak efektif dikarenakan faktor efisiensi alat yang digunakan (weir), serta faktor ekonomi pembuatan weir yang besar untuk mendukung sungai yang besar tidak efisien. Oleh karena faktor efisiensi alat, Rectangular Weir Method dan 90o Triangular Notch Weir Method lebih cocok digunakan pada saluran air yang lebih kecil, meskipun 90o Triangular Notch Weir Method akan lebih efektif digunakan daripada Rectangular Weir Method  karena faktor kesalahan yang didapat cenderung lebih kecil. Oleh karena itu metode yang efektif untuk Saluran I (besar) adalah Embody’s Float Method, sedangkan untuk Saluran II (kecil) adalah 90o Triangular Notch Weir Method (Uktosely, 1991).

Dari masing-masing pengukuran pada setiap saluran terdapat perbedaan besar nilai debit air pada masing-masing metode. Pada Embody’s Float Method nilai debit air Saluran I (besar) sebesar 8.847 x 10-3 m3/s. Sedangkan pada Saluran II diperoleh hasil 12.93 x 10-3 m3/s. Terjadinya perbedaan besar debit air disebabkan karena perbedaan pada lebar muka air, kedalaman, serta waktu tempuh pelampung pada masing-msing saluran. Semakin besar nilai lebar muka air,kedalaman semakin besar nilai debit airnya. Kemudian perbedaan lama waktu tempuh pelampung (bola pingpong) pada Saluran II yang lebih kecil daripada Saluran I, hal ini dapat disebabakan karena pengaruh aliran angin sehingga laju pelampung bisa berubah-ubah setiap waktu dan bisa mengakibatkan perbedaan kecepatan laju pelampung pada masing-masing saluran. Selanjutnya perbedaan besar nilai debit air pada Saluran I dan II yang menggunakan Rectangular Weir Method disebabkan karena lebar dan ketinggian weir pada saat dimasukkan kedalam air pada masing-masing saluran berbeda-beda, begitupun pada metode 90o Triangular Notch Weir Method, ketinggian weir pada saat masuk di dalam air pada Saluran I lebih pendek dibandingkan Saluran II, hal ini desebabkan karena tingkat kekerasan dan ketebalan lumpur pada dasar perairan yang berbeda menyebabkan tinggi weir pada saat dimasukkan kedalam saluran menjadi berbeda. Selain itu, dari kedua saluran masing-masing saluran hasil yang diperoleh antara Rectangular Weir Method dan 90o Triangular Notch Weir Method berbeda walaupun pengambilan data diperoleh di lokasi yang sama. Hal ini dikarenakan banyaknya air yang lolos ketika dibendung menggunakan dan 90o Triangular Notch Weir sehingga nilai debit airnya kecil. Namun dari kedua saluran tersebut berdasarkan dari masing-masing hasil data pengukuran metode yang sama-sama paling efektif pada kedua saluran kecil tersebut adalah 90o Triangular Notch Weir karena memiliki perhitungan yang lebih teliti daripada Rectangular Weir Method ataupun Embody’s Float Method. Selain itu dalam metode 90o Triangular Notch Weir dalam pengambilan datanya hanya mengambil data tinggi air pada saat dimasukkan weir tanpa lebar, hal ini dapat meminimalkan kesalahan (Effendy, 2003).

Pengukuran debit air menggunakan metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada Embody’s Float Method, kelebihannya yaitu pengukuran yang paling sederhana sehingga dapat dilakuakan setiap orang serta hanya memerlukan alat yang sederhana yaitu bola pingpong, stopwatch dan meteran. Hal ini yang menjadikan pengukuran debit air dengan menggunakan metode ini dapat diterapkan pada perairan dangkal maupun dalam. Selain itu juga dapat diterapkan pada saluran yang memiliki badan air yang besar. Kemudian kekurangan dari metode ini adalah bola pingpong terpengaruh oleh angin, gangguan permukaan sehingga dapat menimbulkan kesalahan pada saat pengukuran. Metode selanjutnya adalah Rectangular Weir Method, dengan kelebihannya adalah tidak membutuhkan banyak pengukuran dan tidak terpengaruh oleh konstanta perairan. Sedangkan kekurangannya adalah sulit dalam mengukur ketinggian air saat dibendung  dan adanya air yang lolos saat dibendung, serta kurang praktis karena harus membuat weir terlebih dahulu dengan bahan yang sesuai. Metode terakhir adalah 90o Triangular Notch Weir, kelebihannya adalah tidak memerluakan banyak pengukuran dan tidak terpengaruh oleh konstanta perairan serta data yang diperoleh lebih teliti dan aakuran karena prinsip-prinsip hidrolika dapat diterapkan, namun kekurangan metode ini sulit saat mengukur ketinggian suatu perairan (Sastrodarsono,1995).

Penjelasan mengenai kelebihan dan kekurangan dari masing-masing metode dapat dijadikan dasar dalam mempraktikan metode ini dilapangan. Penjelasan mengenai kelebihan dan kekurangan dari masing-masing metode, seperti Embody’s Float Method cocok digunakan pada perairan yang mengalir dengan pengaruh angin yang kecil, karena kecepatan arus di sungai dapat memungkinkan pengukuran dengan metode ini. Rectangular Weir Method cocok digunakan pada perairan kecil dan tidak efektif pada perairan yang luas karena harus membendung aliran sungai. 90o Triangular Notch Weir cocok digunakan pada perairan yang kecil seperti selokan karena metode ini dilakukan dengan membendung aliran air. Meskipun bisa dilakukan pada daerah yang salurannya besar namun dibutuhkan biaya yang besar untuk membangun weir (Sastrodarsono,1995).

Hasil pengukuran dan pengamatan dengan menggunakan ketiga metode tersebut dapat dikatakan bahwa Embody’s Float Method adalah metode yang lebih efektif dalam pengukuran debit air pada perairan yang besar, sedangkan un tuk pengukuran debit air pada selokan, 90o Triangular Notch Weir adalah metode yang paling efektif dan paling benar karena tidak berpengaruh terhadap konstanta suatu perairan serta lebar weir, dan nilai perhitungan yang lebih teliti. Faktor yang mempengaruhi debit air pada 90o Triangular Notch Weir ini adalah tinggi celah weir, dengan demikian setiap ketinggian celah yang dilewati air akan terjadi kenaikan debit. Sedangkan faktor yang mempengaruhi debit air antara lain bentuk dan saluran perairan, kondisi perairan dan kemiringan lahan.

Selain ketiga metode yang dipraktikan diatas, metode yang dapat dilakukan dalam mengukur debit air adalah Currentmeter Method atau yang dikenal sebagai Metode Alat Ukur Arus. Currentmeter Method biasanya digunakan untuk mengukur aliran pada air yang rendah. Alat ukurnya merupakan alat pengukur kecepatan yang paling banyak digunakan karena memberikan ketelitian yang cukup tinggi. Kecepatan aliran yang diukur adalah kecepatan aliran titik dalam satu penampang aliran tertentu. Prinsip yang digunakan adalah adanya kaitan antara kecepatan aliran dengan kecepatan putar baling-baling currentmeter. Dari kecepatan yang didapatkan dari alat ukur arus, maka akan didapatkan debit pada suatu aliran tersebut. Pengukuran debit pada aliran air ini (saluran/sungai) memerlukan 2 pengukuran yaitu luas penampang aliran dan kecepatan aliran. Pengukuran luas penampang sungai dapat dilakukan dengan mudah apabila lokasi stasiun telah ditetapkan, dan dilakukan pengukuran yang cermat tentang bentuk penampang sungai di stasiun tersebut (Richards, 1998).

Praktikum pengukuran debit air ini memiliki manfaat dalam bidang perikanan terutama Manajemen Sumberdaya Perikanan dapat digunakan dalam mengatur distribusi air kolam, kebutuhan oksigen untuk perairan, kebutuhan air untuk irigasi, serta dapat digunakan untuk mengatur besar kecilnya aliran air yang masuk ke kolam.

Kesimpulan

Dalam pengukuran debit air dapat menggunakan beberapa metode untuk mengukurnya. Metode-metode yang dapat digunakan diantaranya adalah Embody’s Float Method, Rectangular Weir Method, dan 90o Triangular Notch Weir Method. Berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan metode yang efektif untuk selokan besar yaitu Embody’s Float Method dengan debit air sebesar 8.847 x 10-3  m3/s dan untuk selokan kecil yaitu 90° Triangular Notch Weir Method dengan debit air sebesar 0.396 x 10-3 m3/s.

Daftar Pustaka

Asdak, Chay. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Universitas Gadjah Mada
Press. Yogyakarta.

Cholik. 1991. Jurnal Penelitian Perikanan. Pusat Penelitian Perikanan. Dirjen Perikanan. Departemen
Pertanian. Jakarta.

Effendy, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta

Hadiwigeno. 1990. Petunjuk Praktis Pengelolaan Perairan Umum Bagi Pembangunan Perikanan.
Departemen Perikanan, Badan Penelitian dan Pembangunan Perikanan. Jakarta. hal.80

Richards, P.R. 1998.  Manual of Standard Operating Procedures for Hydrometric Surveys in British
Columbia Resources Inventory Committee. British Columbia University Press. Canada.

Sastrodarsono, Takasaki. 1995. Pengukuran Topografi dan Teknik Pemetaan. PT Pradnoyo
Paramitha. Jakarta.

Uktosely, H. 1991. Beberapa Aspek Fisika Laut dan Perannya dalam Masalah Pencemaran.

Publishing LIPI. Bogor.

Rabu, 12 Oktober 2016

Laporan Praktikum Limnologi - MORFOMETRI PERAIRAN LENTIK

MORFOMETRI PERAIRAN LENTIK

ANDITA PALUPI
15/379697/PN/14151
MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN

Abstrak

Tujuan dari praktikum ini adalah mengetahui keadaan morfometri (bentuk dan ukuran) dan keadaan perairan lentik pada setiap tingkat (level) genangan. Praktikum ini dilakukan pada 9 September 2016 di Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perikanan A Departemen Perikanan Universitas Gadjah Mada. Morfometri waduk menggunakan topografi Waduk Sermo pada tahun 1996, 2000, dan 2005 dengan skala 1:15.000. Praktikum ini menggunakan metode duplikasi peta bathimetri pada kertas kalkir dengan pengambilan sampel 1x1 cm. Hasil praktikum didapatkan tahun 1996 pada level 110 meter memiliki nilai shore development sebesar 1.98, level 120 meter sebesar 2.88, level 130 meter sebesar 3.198, level 137 meter sebesar 3.644; pada tahun 2000 level 110 meter sebesar 2.29, level 120 meter sebesar 2.906, level 130 meter sebesar 3.131, level 137 meter sebesar 3.298; pada tahun 2005 level 110 meter sebesar 1.815, level 120 meter sebesar 2.549, level 130 meter sebesar 2.93, dan level 137 meter sebesar 3.88. Tahun uji yang memiliki kesuburan yang tertinggi ialah tahun 2005 pada level genangan 137 meter. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tahun 2005 di level genangan 137 meter memiliki tingkat kesuburan paling tinggi.

Kata kunci: lentik, level, morfometri, topografi, waduk

Pengantar

Pada perairan air tawar umumnya dibagi menjadi 2, yaitu perairan lotik dan perairan lentik. Perairan air tawar lotik merupakan perairan yang berarus, contohnya sungai. Sedangkan perairan lentik memiliki cirri-ciri yang tidak berarus,meskipun ada tetapi dalam skala kecil, contohnya waduk, danau  Danau merupakan perairan dalam dengan tepian yang curam dan terdapat tumbuhn air dibagian tepi danau. Waduk dapat diartikan sebagai cekungan yang besar dipermukaan bumi yang digenangi oleh air, biasanya air tawar dan dikelilingi oleh daratan. Waduk sermo merupakan waduk pertama dan satu-satunya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Analisis limnologi suatu danau atau waduk memerlukan data-data yang detail mengenai analisa kedalaman, pengukuran luas atau permukaan seimen dasar, strata dan ciri-ciri garis pantai sering menjadi hal yang sangat penting dalam menganalisa sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi suatu perairan tawar. Sehingga diperlukan pengamatan dan perhitungan mengenai morfometri dalam suatu perairan lentik (Wetzel,1975).

Morfometri merupakan cabang ilmu limnologi yang membahas pengukuran kenampakan morfologi suatu daerah perairan beserta karakteristiknya. Aspek morfometri dapat dibedakan menjadi dimensi permukaan (surface dimension) yang terdiri dari panjang maksimum, panjang maksimum efektif, lebar maksimum, lebar maksimum efektif, lebar rata-rata shore line, shore line development, luas permukaan, dan insolusity. Sedangkan dimensi bawah permukaan (subsurface dimension) terdiri dari kedalaman maksimum, kedalaman relatif, kedalaman rata-rata, kedalaman median, kedalaman kuartil, colume dan perkembangan volume (Hakanson, 1981).

Menurut Hakanson (1981), morfometri perairan lentik berhubungan dengan kuantifikasi dan pengukuran bentuk-bentuk danau dan elemen-elemen pembentuknya. Data morfometri merupakan kebutuhan dasar di hampir semua proses limnologi dan hidrologi. Sampai saat ini semua parameter morfometri yang tergantung skala (scale dependent morphometri parameter) seperti panjang garis pantai dan perkembangan garis pantai perairan lentik, masih memiliki relevansi kuantitatif yang terbatas karena parameternya tidak dapat diidentifikasi dengan jelas. Perencanaan pengembangan daerah perairan untuk kegiatan perikanan dan atau lainnya dapat ditunjang dengan data-data dari morfologi atau morfometri (Dahuri, 2002).

Praktikum morfometri perairan lentik bertujuan mengetahui morfometri (bentuk dan ukuran) suatu perairan. Praktikum ini juga bertujuan untuk mengetahui keadaan perairan danau atau waduk pada setiap level (tingkat genangan). Informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai dasar dalam pengembangan usaha perikanan yang produktif.

Metode

Praktikum morfometri perairan lentik dilakukan pada hari Jumat, 9 September 2016 pukul 13.30 WIB hingga pukul 15.00 WIB bertempat di laboratorium MSP A, Departemen Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Pada praktikum morfometri perairan lentik ini digunakan alat-alat, seperti alat tulis, penggaris, gunting, benang jahit, jarum dan timbangan analitik. Sedangkan bahan yang digunakan adalah kertas kalkir dan peta bathimetri Waduk Sermo skala 1:15.000.
Metode yang digunakan yaitu dengan menduplikasi peta bathimetri pada kertas kalkir yang diambil sampel 1 x 1 cm kemudian digunakan parameter yang terdiri dari luas, volume, keliling, dan shore development, sehingga dapat diketahui keadaan gambaran bentuk dasar waduk. Rumus luas yang digunakan adalah;

dengan W1 adalah berat peta (gram), W2 merupakan berat sampel (gram), L1 adalah luas peta (km2), dan L2 adalah luas sampel (km2). Untuk menghitung keliling peta digunakan rumus; 


dengan SL merupakan scala litcher atau jarak sesungguhnya, panjang benang merupakan panjang yang digunakan untuk mengukur keliling pada peta. Untuk menghitung volume digunakan rumus;


dengan V merupakan volume (km3), h merupakan kedalaman vertikal (m), a1 adalah luas permukaan lebih atas (m2), dan a2 merupaka luas area pada tingkat permukaan tertentu yg lebih rendah (km2). Kemudian untuk menghitung shore development digunakan rumus;

 dengan Sd merupakan shore development, SL adalah keliling peta (km), dan A merupakan luas  peta (km2).

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Tabel 1. Hasil Pengamatan Morfometri Perairan Lentik Waduk Sermo
Tahun

Level
(m)

Berat Sampel
(gr)
Berat Peta
(gr)
Luas Peta
(km2)
Volume
(km3)
Keliling (km)

Sd
1996
110
0.01
0.11
0.248
4.34 x 10-3
3.495
1.98
120
0.01
0.29
0.653
8.25
2.88
130
0.01
0.53
1.193
8.18 x 10-3
12.375
3.198
137
0.01
0.75
1.692
10.01 x 10-3
16.8
3.644
2000
110
0.01
0.1
0.225
5.16 x 10-3
3.835
2.29
120
0.01
0.23
0.518
7.41
2.906
130
0.01
0.39
0.878
6.89 x 10-3
10.395
3.131
137
0.01
0.74
1.116
6.96 x 10-3
12.345
3.298
2005
110
0.01
0.06
0.135
3.06 x 10-3
2.36
1.815
120
0.01
0.23
0.518
6.9
2.549
130
0.01
0.52
1.17
8.26 x 10-3
11.25
2.93
137
0.01
0.69
1.55
9.49 x 10-3
17.1
3.88

Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan terdapat perbedaan atau perubahan mengenai kondisi waduk pada tiap tahun 1996, 2000, dan 2005 serta pada tiap level pada tahun tersebut. Jika dilihat dari data tersebut kondisi waduk dari tahun 1996 ke tahun 2000 hingga tahun 2005 cenderung mengalami penurunan pada tiap levelnya. Pada tahun 1996 level 110 meter memiliki data luas dan volume sebesar 0.248 km2 dan 4.34 x 10-3 km3, level 120 meter memiliki data luas dan volume sebesar 0.653km2 dan 4.34 x 10-3 km3, level 130 meter sebesar 1.193 km2 dan 8.18 x 10-3 km3, dan level 137 meter sebesar 1.692 km2 dan 10.01 x 10-3 km3. Kemudian data morfometri Waduk Sermo pada tahun 2000 level 110 meter memiliki luas dan volume 0.225 km2 dan 5.16 x 10-3 km3, level 120 meter sebesar 0.518 km2 dan 5.16 x 10-3 km3, level 130 meter sebesar 0.878 km2 dan 6.89 x 10-3 km3, level 137 meter sebesar1.116 km2 dan 6.96 x 10-3 km3. Lalu data luas dan volume Waduk Sermo tahun 2005 level 110 meter sebesar 0.135 km2 dan 3.06 x 10-3 km3, level 120 meter sebesar 0.518 km2 dan 3.06 x 10-3 km3, level 130 meter sebesar 1.17 km2 dan 8.26 x 10-3 km3, dan level 137 meter sebesar 1.55 km2 dan 9.49 x 10-3 km3.

Dilihat dari data tersebut jika dibandingkan tiap level genangan yang sama pada tiap tahun uji, level 110 m memiliki luas yang selalu menurun dari tahun 1996 menuju tahun 2000 hingga pada tahun 2005. Kemudian untuk volume waduk level 110 meter dari tahun 2000 hingga 2005 juga mengalami penurunan. Turunnya luas dan volume ini diakibatkan adanya sedimentasi atau pengendapan yang terakumulasi di dasar perairan. Kemudian untuk luas pada level 120 meter dari tahun 1996 sampai tahun 2000 mengalami penurunan yang cukup besar yaitu dari 0.653 km2 menjadi 0.518 km2dan pada tahun 2005 luasnya tetap pada kisaran 0.518 km2. Penurunan yang cukup signifikan dari tahun 1996 ke tahun 2000 ini menunjukkan bahan organik serta material-material lain yang mengendap atau yang mengalami sedimentasi meningkat, sehingga luas Waduk Sermo pada level 120 meter ini menurun. Untuk volume level 120 meter dari tahun 1996 hingga 2000 mengalami peningkatan dari 4.34 x 10-3 km3 menjadi 5.16 x 10-3 km3 namun mengalami penurunan di tahun 2005 yakni menjadi 3.06 x 10-3 km3. Pada level 130 meter luas dari tahun 1996 hingga 2000 mengalami penurunan dari 1.193 km2 menjadi 0.878 km2 dan dari tahun 2000 ke 2005 justru mengalami kenaikan yang signifikan menjadi 1.17 km2. Sedangkan volumenya dari tahun 1996 ke tahun 2000 mengalami penurunan dari 8.18 x 10-3 km3 menjadi 6.89 x 10-3 km3, namun dari tahun 2000 hingga tahun 2005 volume Waduk Sermo level 130 meter mengalami peningkatan menjadi 8.26 x 10-3 km3. Luas Waduk Sermo pada level 137 dari tahun 1996 hingga tahun 2000 mengalami penurunan yang sangat besar, yaitu dari 1.692 km2 menjadi 1.116 km2 dan pada tahun 2005 mengalami kenaikan menjadi 1.55 km2. Sedangkan volume Waduk Sermo level 137 metertahun 1996 hingga tahun 2000 mengalami penurunan dari 10.01 x 10-3 km3 menjadi 6.96 x 10-3 km3 dan mengalami peningkatan pada tahun 2005 menjadi 9.49 x 10-3 km3. Penurunan luas dan volume maupun kenaikan luas dan volume Waduk Sermo yang terjadi pada setiap tahun uji pada tiap-tiap level menunjukkan tingkatan sedimentasi yang terjadi di perairan waduk tersebut. Semakin rendah luas dan volume waduk tersebut, jadi semakin tinggi tingkat sedimentasi yang terjadi.

Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan morfometri danau ialah ialah curah hujan, sedimentasi, dan jumlah organisme. Curah hujan yang tinggi berpotensi menaikkan volume danau dan sebaliknya sedangkan curah hujan yang rendah dapat menurunkan volume danau atau waduk. Namun curah hujan hanya dapat mengubah volume suatu badan perairan sementara. Sedimentasi merupakan pengendapan sisa bahan organik yang berada di dasar perairan dan sudah mengalami proses pengerasan atau pemadatan. Sedimentasi yang terus bertambah akan mengakibatkan penurunan luas dan volume waduk. Jumlah organisme berupa plankton dapat mempengaruhi morfometri sebab organisme tersebut ketika mati akan mengendap di dasar perairan. Perubahan morfometri tersebut dapat menganalisis kesuburan danau atau waduk (Welch, 1952).

Shore development merupakan indeks besarnya penyimpangan bentuk perairan dari bentuk bulat atau elips. Danau atau waduk yang memiliki Sd = 2 berbentuk agak elips atau bulat. Jika nilai Sd kurang dari 2 menunjukkan bentuk danau tersebut elips atau bulat. Jika Sd lebih dari 2 menunjukkan bentuk danau tersebut semakin tidak beraturan. Nilai Sd yang semakin besar menunjukkan tingkat kesuburan suatu perairan semakin tinggi. Nilai Sd Waduk Sermo pada level 110 m tahun 1996 kurang dari 2 sehingga bentuknya masih elips. Namun pada tahun yang sama pada level yang berbeda, nilai Sd Waduk Sermo lebih dari dua, hal ini menunjukkan bentuk waduk yang memiliki tepi berkelok-kelok atau menjauhi bentuk elips. Dan untuk nilai Sd pada tahun 2000 dan 2005 untuk semua level memiliki nilai lebih dari 2 yang menujukkan bahwa tepinya berkelok-kelok tidak beraturan menjauhi bentuk elips, kecuali pada tahun 2005 dengan level 110 meter yang memiliki nilai Sd kurang dari 2 menunjukan bentuk danaunya elips (Barus, 2004).

Sd pada tahun 1996 level 110 m ialah 1.98, pada tahun 2000 menjadi 2.29, dan pada tahun 2005 menurun menjadi 1.815. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 1996 kesuburan Waduk Sermo masih rendah karena waduk tersebut masih awal terbentuk, sehingga jumlah dan jenis organisme yang hidup masih sedikit. Pada tahun 2000 kesuburan waduk Sermo meningkat, hal ini ditunjukkan melalui nilai Sd yang meningkat menjadi 2.29. Namun pada tahun 2005 nilai Sd mengalami penurunan menjadi 1.815 yang menunjukan waduk kembali membentuk elips yang berarti menyebabkan semakin berkurangnya panjang keliling waduk. Menurut Suyono (2010) hal ini bisa disebabkan karena tingginya curah hujan yang menyebabkan waduk makin tergenang. Nilai Sd pada level 120 meter tahun 1996 sebesar 2.88, lalu pada tahun 2000 menjadi 2.906 dan pada tahun 2005 menjadi 2.549. Menurunnya nilai Sd tahun 2005 pada level ini bisa jadi disebabkan karena curah hujan yang tinggi. Nilai Sd pada level 130 metercenderung menurun dari tiap tahun uji, yaitu berturut-turut sebesar 3.198, 3.131, dan 2.93. Nilai ini menunjukan semakin kurang suburnya waduk akibat waduk yang makin tergenang. Nilai Sd pada level 137 m tahun 1996 sebesar 3.644, pada tahun 2000 mengalami penurunan menjadi 3.298, dan pada tahun 2005 kembali meningkat menjadi 3.88. Jika dilihat Sd pada level 110 meter, 120 meter, 130 meter, dan 137 meter mengalami hal yang sama yaitu penurunan nilai sd dari tahun 2000 hingga menuju tahun 2005. Turunnya nilai Sd ini menunjukkan bahwa kesuburan danau menurun pada tahun 2005. Sebaliknya pada tahun 1996 hingga tahun 2000 Waduk Sermo mengalami peningkatan kesuburan. Dari semua level dari tiap tahun uji, tahun uji 2005 pada level 137 meter memiliki tingkat kesuburan paling tinggi.

Pemahaman tentang morfometri berguna bagi program studi Manajemen Sumberdaya Perikanan, misalnya untuk menentukan atau memperkirakan karakteristik atau kualitas suatu daerah perairan. Data-data yang diperoleh akan menunjukkan daerah yang subur maupun kurang subur, kemudian dapat dicari penyebab dan solusinya agar menjadi lebih baik untuk bisa digunakan dalam kegiatan perikanan.

Kesimpulan

Bentuk Waduk Sermo ialah memiliki tepi yang berkelok-kelok tidak beraturan dan menjauhi dari bentuk elips atau bulat karena memiliki nilai Sd yang lebih dari 2. Tingkat kesuburan paling tinggi berturut-turut pada tahun 1996, 2000, dan 2005 pada level 137 meter dengan nilai shore development berturut-turut 3.644, 3.298, dan 3.88. Pada tahun 1996, luas tertinggi adalah 1.692 km2 pada level 137 meter; pada tahun 2000 tetap pada level 137 meter dengan luas 1.116 km2; begitu pula pada tahun 2005 level 137 meter memiliki daerah paling luas sebesar 1.55 km2. Sedangkan volume terbesar pada tahun 1996, 2000 dan tahun 2005 berturut-urut adalah 10.01 x 10-3 km36.96 x 10-3 km3; 9.49 x 10-3 km3 juga pada level 137 meter. Keliling terbesar ada pada level 137 meter dengan nilai berturut-turut 16.8 km, 12.345 km, dan 17.1km.

Daftar Pustaka

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Universitas Sumatra
Utara Press. Medan

Dahuri, R. 2002. Membangun Kembali Perekonomian Melalui Sektor Perikanan dan Kelautan.
LISPI.Jakarta.

Hakanson, L. 1981. A Manual of Lake Morphometry. Springer-Verlag. Berlin.

Suyono.2010.Petunjuk Praktikum Hidrologi Sungai dan Danau.Lab. Hidrologi dan Kualitas Air
Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta

Wetzel.1975. Limnology. Third Edition. Sounders Colage. Philadelphia.


Welch. P. 1952. Limnology.Mc. Graw Hill. New York.